Wednesday, March 21, 2012

Manusia & Kebudayaan


Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

1. Hakekat Manusia

Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk hidup yang paling sempurna, melebihi ciptaan Tuhan yang lain. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang dilengkapi dengan akal pikiran serta hawa nafsu. Tuhan menanamkan akal dan pikiran kepada manusia agar dapat digunakan untuk kebaikan mereka masing – masing dan untuk orang di sekitar mereka. Manusia diberikan hawa nafsu agar mampu tetap hidup di bumi ini.
Hakekat Manusia

Manusia diturunkan ke bumi oleh Tuhan agar dapat menjadi khalifah dan pemimpin. Menghuni bumi yang kita tinggali sekarang ini untuk melanjutkan hidup sebelum kembali kepada-Nya. Salah satu hakekat manusia lainnya ialah manusia sebagai makhluk sosial, hidup berdampingan satu sama lain, berinteraksi dan saling berbagi. exciting
2. Kepribadian Bangsa Timur
Manusia mendiami wilayah yang berbeda, berada di lingkungan yang berbeda juga. Hal ini membuat kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan dan kepribadian setiap manusia suatu wilayah berbeda dengan yang lainnya. Namun secara garis besar terdapat tiga pembagian wilayah, yaitu : Barat, Timur Tengah, dan Timur.
Bangsa Timur

Kita di Indonesia termasuk ke dalam bangsa Timur, yang dikenal sebagai bangsa yang berkepribadian baik. Bangsa Timur dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah dan bersahabat. Orang – orang dari wilayah lain sangat suka dengan kepribadian bangsa Timur yang tidak individualistis dan saling tolong menolong satu sama lain. Meskipun begitu, kebanyakan bangsa Timur masih tertinggal oleh bangsa Barat dan Timur Tengah.
3. Bagan Psiko-Sosiogram Manusia
Berikut ini merupakan contoh dari bagan Psiko-Sosiogram manusia:
Bagan Psiko-Sosiogram

diambil dari buku “Mentalitas dan Pembangunan”
Nomor 7 dan 6 disebut sebagai daerah tak sadar dan sub sadar. Tak sadar karena memang sudah tertanam jauh di dalam diri manusia dan tak mampu disadari bahkan oleh manusia itu sendiri. Sub sadar karena sewaktu – waktu unsur – unsur yang sudah tertanam bisa meledak keluar lagi dan mengganggu kebiasaan sehari – hari. anger
Nomor 5 disebut kesadaran yang tidak dinyatakan. Maksudnya pikiran – pikiran dan gagasan yang ada disimpan sendiri oleh manusia tersebut dan tidak ada seorang lain pun yang dapat mengetahuinya. Nomor 4 disebut kesadaran yang dinyatakan. kebalikan dari nomor 5, ini berarti manusia mengungkapkankepada orang lain apa yang ada di pikirannya seperti perasaan, pengetahuan dan sebagainya.
Nomor 3 disebut lingkaran hubungan karib. Di sini manusia memiliki seseorang atau sesuatu yang dianggap bisa menjadi curahan hati dan tempat untuk meminta bantuan. Tidak selalu manusia yang lain juga melainkan benda, atau makhluk hidup lain pun bisa berada pada lingkaran ini. Nomor 2 disebut lingkaran hubungan berguna. Bisa dianalogikan hubungan antara murid dengan guru, pedagang dan pembeli. money
Nomor 1 disebut lingkaran hubungan jauh yang berarti pikiran dan gagasan manusia tentang berbagai macam hal. Nomor 0 disebut lingkungan dunia luar yang berarti tentang pendapat dan pikiran seseorang tentang dunia atau daerah yang belum pernah dikunjungi atau dijumpai.
4. Definisi Kebudayaan
Definisi Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan.
6. Tujuh unsur kebudayaan universal
1. Sistem Religi
Kepercayaan manusia terhadap adanya Sang Maha Pencipta yang muncul karena kesadaran bahwa ada zat yang lebih dan Maha Kuasa.
2. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing – masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu.
3. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan
Sistem yang terlahir karena setiap manusia memiliki akal dan pikiran yang berbeda sehingga memunculkan dan mendapatkan sesuatu yang berbeda pula, sehingga perlu disampaikan agar yang lain juga mengerti.
4. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi
Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih.
5. Sistem Teknologi dan Peralatan
Sistem yang timbul karena manusia mampu menciptakan barang – barang dan sesuatu yang baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan membedakan manusia dengam makhluk hidup yang lain.
6. Bahasa
Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.
7. Kesenian
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan.
7. Tiga Wujud Kebudayaan Menurut Dimensi Wujudnya
A. Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia
Kebudayaan yang muncul dan hidup karena adanya gagasan – gagasan baru, konsep yang matang serta buah dari pikiran yang kreatif. Wujudnya dapat ditemukan dalam sebuah buku – buku, arsip dan sebagainya.
B. Kompleks aktivitas
Aktivitas manusia dengan lingkungan sekitar dalam kegiatan sehari hari dari waktu ke waktu memunculkan sesuatu untuk diabadikan, difoto dan juga diobservasi.
C. Wujud sebagai benda
Aktivitas manusia sehari – hari umumnya dilakukan dengan menggunakan benda sebagai sarana dan prasarana. Dari situ lahir kebudayaan dalam bentuk fisik yang konkret, bisa bergerak maupun tidak.

Globalisasi & Budaya


GLOBALISASI          
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.
Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai dari para pakar ekonomi, sampai penjual iklan. Dalam kata globalisasi tersebut mengandung suatu  pengetian akan hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang dan jasa antar negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam perdagangan. Dan dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang masuk bukan hanya barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya dan lain-lain.         
Konsep akan globalisasi menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya.
Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan budaya.  
Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita. Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global. 
GLOBALISASI DAN BUDAYA         
Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa.  Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan.  Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya.  Kesenian rakyat, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi. 
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam  arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita.
 Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka.
Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.
GLOBALISASI DALAM KEBUDAYAAN TRADISIONAL DI INDONESIA 
Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat.  Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi banyak negara-negara berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar.
Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi namun juga terkait dengan  masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan  dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat  terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan.  Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya.  Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi keseniannya.  Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang sangat khas.  Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan dalam masyarakat.  
GLOBALISASI : PERSEBARAN BUDAYA DUNIA
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama.  Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W.  Pye, 1966 ).
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi.  Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan.  Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang (Josep Klapper, 1990). Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini berarti banyak  pula masyarakat (yang terlibat dalan proses komunikasi global) menjadi exposed terhadap informasi, dan terkena dampak komunikasi tersebut.  Karena itu, tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, mulai bermunculan portable radio, televisi, televisi satelit, dan kemudian internet. Keunggulan media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah bahwa media tersebut mampu menyuguhkan gambar-gambar secara jelas dan terinci kepada para pemakainya. 
Akibatnya, para pemakai media massa tersebut mengetahui apa yang terjadi di tempat lain dengan budaya yang berbeda dalam waktu yang singkat.  Mereka dapat melihat dan mengetahui keunggulan-keunggulan budaya yang dimiliki masyarakat lain melalui media massa tersebut.  Sikap yang dapat muncul dari sini adalah sikap yang memandang secara kritis apa yang mereka miliki dan bagaimana mengimbanginya dengan nilai-nilai budaya yang sudah mereka miliki itu, termasuk sikap kritis dari bangsa Indonesia sendiri terhadap apa yang sudah mereka miliki.
Terkait dengan globalisasi, mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam.  Proses globalisasi akan  menghapus identitas dan jati diri.  Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar.  Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. 
John Naisbitt (1988)[2], dalam bukunya yang berjudul Global Paradox memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi.  Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran  , yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal, namun bertindak global.  Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.  Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam  era globalisasi ini.   
PERUBAHAN BUDAYA DALAM GLOBALISASI ; KESENIAN YANG BERTAHAN DAN YANG TERSISIHKAN
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya saja  khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga.
Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi.
Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi.
Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya.  Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi.
Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat.  Kenyataan di atas menunjukkan kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir  yaitu wayang kulit. Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional[3].  

KESENIAN RAKYAT DALAM ORIENTASI GLOBALISASI

Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam.  Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya pop[4].  Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun teknologi., sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat.  Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan lagi.  
Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan atas pemikiran yang pragmatis  dan cenderung mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang ada.  Dengan demikian, pengaruh ini jelas-jelas mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri.Di pihak lain, adanya masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti perkembangan pembangunan. 
Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) ini tidak dapat bangun lagi karena kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern.  Sementara itu pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di daerah.  Hal ini, bisa saja  disebabkan  oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan  konsep-konsep dasar pembangunan di bidang kesenian yang penekanannya dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf dengan kecenderungan universal.  Sehingga, kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan  tujuan dari pembangunan yang sedang dijalankannya ini.  Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya.
Sesungguhnya, bagi kesenian rakyat Indonesia, kesempatan untuk mengadaptasi pemikiran Naisbitt[5] sangat cukup terbuka, karena kekayaan  kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia Internasional.  Sebagai salah satu contoh, misalnya tari Piring dari Sumatra Barat.  Tari Piring ini sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lebih modern lagi melalui kolaborasi.  Untuk menuju kepada tindakan ini harus ada upaya atau perbaikan–perbaikan yang perlu diperhatikan agar kemasan kesenian tradisional bangsa Indonesia dapat diterima dan berkembang secara global, walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai asli/lokal.  
PERAN PEMERINTAH DALAM KESENIAN RAKYAT
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya, menurut pendapat saya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan.  Jennifer Lindsay (1995)[6], dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural.
Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan tuntutan pembangunan.  Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi.  Melihat kecenderungan tersebut, maka saya pribadi melihat aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan.  Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan. 
Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. 
Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah.  Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan.  Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut, maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung dan pengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam proses estetikanya. 
Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yang diinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus ‘melakoni’[7] dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi keaslian dan perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus merubah dan menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik.
Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium baru seperti saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus beradaptasi dengannya karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata.
Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya.  Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini.  Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini.  Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini.  Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis. 
Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah, dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat. 
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera.  Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop.
Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif untuk mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para seniman rakyat.  Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau dana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja.

Budaya Dan Modernisasi


Budaya dan modernisasi adalah hal yang saling terkait satu sama lain. Budaya akan berkembang seiring dengan modernisasi yang akan semakin maju. Berikut adalah artikel tentang apa itu budaya ( definisi budaya ), unsur-unsur dari budaya, wujud dari budaya, komponen-komponen dari budaya dan berbagi keterkaitannya lagi tentang budaya. Artikel tentang budaya ini saya ambil sebagian besar dari Wikipedia bahasa Indonesia. Berikut penjelasan artikelnya
“Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi ( budi atau akal ) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuiakan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Sedangkan Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
- Unsur-unsur kebudayaan
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o keluarga
o kekuasaan politik
2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
o organisasi ekonomi
o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
o organisasi kekuatan (politik)
- Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
• Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
• Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
• Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
- Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
• Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
• Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan
Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:
Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
• alat-alat produktif
• senjata
• wadah
• alat-alat menyalakan api
• makanan
• pakaian
• tempat berlindung dan perumahan
• alat-alat transportasi
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:
• berburu dan meramu
• beternak
• bercocok tanam di ladang
• menangkap ikan
Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
Sistem Ilmu dan Pengetahuan
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
• pengetahuan tentang alam
• pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
• pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
• pengetahuan tentang ruang dan waktu
Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.
Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:
1. tekanan kerja dalam masyarakat
2. keefektifan komunikasi
3. perubahan lingkungan alam.
Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
Penetrasi Kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.
Kebudayaan Diantara Masyarakat
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.
• Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.
• Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
• Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
• Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.
Kebudayaan Menurut Wilayah
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.
Afrika
Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam
Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.
Asia
Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mempengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.
Australia
Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.
Eropa
Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan “kebudayaan barat”. Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.
Timur Tengah dan Afrika Utara
Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini. ”
Sedangkan pengertian modernisasi yang saya kutip dari pemikiran para ahli adalah sebagai berikut :
- Astrid S Susanto: (1977) modernisasi adalah proses pembangunan kesempatan yang diberikan oleh perubahan demi kemajuan.
- Widjojo Nitisastro: modernisasi mencangkup suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis
- Soerjono Soekanto: modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial, yan bisanya perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan Sosial Planing .
Selain itu, modernisasi juga memiliki syarat-syarat tertentu, seperti berikut :
• Cara berfikir ilmiah ( Scientific thinking) yang institutionalized dalam the ruling class maupun masyarakat.
• Sistem administrasi negera yang baik, yang benar-benar mewujudkan bureaucracy (birokrasi).
• Adanya system pengumpula data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
• Penciptaan iklim yang favoureble dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara pengunaan alat-alat komunikasi masa.
• Tingkat organisasi yang tinggi, yang disatu pihak berarti disiplin, sedangkan dilain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
• Sentrasi wewenang dalam social planning.
Dan menurut Inkeles, manusia modern akan memiliki berbagai karakteristik pokok berikut ini:
• Terbuka terhadap pengalaman baru. Ini berarti, bahwa manusia modern selalu berkeinginan untuk mencari sesuatu yang baru.
• Manusia modern akan memilki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orang tua, kepala suku dan raja.
• Manusia modern percaya terhadap ilmu pengetahuan, termasuk percaya akan kemampuannya untuk menundukkan alam semesta
• Manusia modern memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi. Mereka berkehendak untuk meniti tangga jenjang pekerjaannya.
• Manusia modern memilki rencana jangka panjang. Mereka selalu merencanakan sesuatu jauh didepan dan mengetahui apa yang kan mereka capai dalam waktu lima tahun kedepan.
• Manusia modern aktif terlibat dalam percaturan politik. Mereka bergabung dengan berbagai organisasi kekeluargaan dan berpartisipasi aktif dalam urusan masyarakat lokal.
Modernisasi yang berjalan Di Indonesia
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang yang sedang berupaya membangun masyarakatnya dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Hal itu dilakukan dengan adanya pembangunan masyarakat secara keseluruhan dalam bidang modernisasi.
Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia agar setara dengan masyarakat modern bangsa lain. Oleh sebab itu modernisasi di Indonesia dapat dikatakan terbuka, artinya bahwa dalam proses modernisasi tidak tertutup kemungkinan untuk menerima unsur-unsur dari luar. Namun tentunya harus ada filterisasi (penyaringan) terhadap unsur-unsur dari luar.
Gejala-gejala yang tampak dari proses modernisasi di Indonesia meliputi segala bidang, baik teknologi, politik, sosial, ekonomi, agama dan kepercayaan.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut:
(1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi,
(2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi,
(3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah:
(1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan
(2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek.
(3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented,
(4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
- Akibat Positif Modernisasi dan Globalisasi
(1)Semakin dipercayanya kebudayaan Indonesia.
dengan adanya internet, kalian bisa mengetahui kebudayaan-kebudayaan bangsa lain, sehingga dapat dibandingkan ragam kebudayaan antarnegara, bahkan dapat terjadi adanya akulturasi budaya yang akan semakin memperkaya kebudayaan bangsa.
(2) Ragam kebudayaan dan kekayaan alam negara Indonesia lebih dikenal dunia.
- Akibat Negatif Modernisasi dan Globalisasi
(1) Munculnya guncangan kebudayaan (cultural shock).
Cultural Shock dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian unsur-unsur yang saling berbeda sehingga menghasilkan suatu pola yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Perubahan unsur-unsur budaya seringkali ditanggapi oleh masyarakat dengan beragam.
(2) Munculnya ketimpangan kebudayaan (cultural lag).
kondisi ini terjadi manakala unsur-unsur kebudayaan tidak berkembang secara bersamaan, salah satu unsur kebudayaan berkembang sangat cepat sedangkan unsur lainnya mengalami ketertinggalan. Ketertinggalan yang terlihat mencolok adalah ketertinggalan alam pikiran dibandingkan pesatnya perkembangan teknologi, kondisi ini terutama terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan ini diperlukan penerapan sistem dan pola pendidikan yang berdisiplin tinggi.

Ilmu Sosial & Budaya Dasar


Secara sederhana IBD adalah pengetahuan yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah manusia dan kebudayaan. IBD bukanlah pengantar disiplin ilmu tersendiri,tetapi menggunakan pengertian-pengertian ( fakta, teori, konsep) yang berasal dari berbagai bidang keahlian untuk menanggapi masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Adapun yang menjadi sasaran perhatian adalah antara lain :
1. berbagai kenyataan yang bersama-sama merupakan masalah sosial yang dapat ditanggapi dengan pendekatan sendiri maupun sebagai pendekatan gabungan (antar bidang)
2. Adanya keanekaragaman golongan dan kesatuan sosial laindalam masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran dan pola-pola tingkah laku sendiri, tapi juga amat banyak persamaan kepentingan kebutuhabn serta persamaan dalam pola-pola pemikiran dan pola-pola tingkah laku yang menyebabkan adanya pertentangan-pertentnagan maupun hubungan setia kawan dan kerja sama dalam masyarakat kita.
Untuk mengetahui bahwa ilmu budaya dasar termasuk kelompok pengetahuan budaya lebih dahulu perlu diketahui pengelompokan ilmu pengetahuan. Prof Dr.Harsya Bactiar mengemukakan bahwa ilmu dan pengetahuan dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu :
1.Ilmu-ilmu Alamiah ( natural scince ). Ilmu-ilmu alamiah bertujuan mengetahui keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam alam semesta. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah.Caranya ialah dengan menentukan hokum yang berlaku mengenai keteraturan-keteraturan itu, lalu dibuat analisis untuk menentukan suatu kualitas. Hasil analisis ini kemudian digeneralisasikan. Atas dasar ini lalu dibuat prediksi.
2.Ilmu-ilmu sosial ( social scince ) . ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk mengkaji keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode ilmiah sebagai pinjaman dari ilmu-ilmu alamiah. Tapi hasil penelitiannya tidak 100 5 benar, hanya mendekati kebenaran. Sebabnya ialah keteraturan dalam hubungan antara manusia initidak dapat berubah dari saat ke saat.
3.Pengetahuan budaya ( the humanities ) bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang bersifat manusiawi. Untuk mengkaji hal ini digunakan metode pengungkapan peristiwa-peristiwa dan kenyataan-kenyataan yang bersifat unik, kemudian diberi arti.
Kehidupan manusia sebagai mahluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang tdak dapat dipisahkan dalah kehudupan. Masalah sosial ini timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesame manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya.masalah sosial ini idaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan kebudayaannya, serta sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya.
Yang membedakan masalah sosial dengan masalah lainnya adalah bahwa maalah sosial selalu ada kaitannya yang dekat denan nailai-nilai moral dan pranata-pranata sosial, serta ada kaitannya dengan hubungan-hubungan manusia itu terwujud. Pengertian masalah sosial memiliki dua pendefinisian: pertama pendefinisian menurut umum, kedua menurut para ahli. Menurut umum atau warga masyarakat, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum adalah masalah sosial. Menurut par aahli, masalah sosial adalah suatu kondisi atau perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang berdasarkan atas studi, mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekecauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.
Tujuan Ilmu Budaya Dasar :
1.Mengusahakan kepekaan mahasiswa terhadap lingkungan budaya, sehingga mereka lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terutama untuk kepentingan profesi mereka
2.Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memperluas pandangan mereka tentang masalah kemansiaan dan budaya serta mengembangkan daya kritis mereka terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kedua hal tersebut.
3.Mengusahakan agar mahasiswa, sebagai calon pemimpin bagnsa dan Negara serta ahli dalam bidang disiplin masing-masing tidak jatuh ke dalam sifat-sifat kedaerahan dan pengkotakan disiplin yang ketat
4.menguasahakan wahana komunikasi para akademisi agar mereka lebih mampu berdialog satu sama lain. Dengan memiliki satu bekal yang sama, para akademisi diharapkan akan lebih lancer dalam berkomunikasi.
Ruang Lingkup Ilmu Budaya Dasar :
1.Berbagai aspek kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan budaya yang dapat didekati dengan menggunakan pengetahuan budaya (the humanities), baik dari segi masing-masing keahlian (disiplin) didalam pengetahuan budaya, maupun secara gabungan (antar bidang) berbagai disiplin dalam pengetahuan budaya
2.Hakekat manusia yang satu atau universal, akan tetapi yang beraneka ragam perwujudannya dalam kebudayaan masing-masing jaman dan tempat.
Menilik kedua pokok masalah yang bisa dikaji dalam mata kuliah IBD, nampak dengan jelas bahwa manusia menempati posisi sentral dalam pengkajian. Manusia tidak hanya sebagai obyek pengkajian. Bagaimana hubungan manusia dengan alam, dengan sesame, dirinya sendiri, nilai-nilai manusia dan bagaimana pula hubungan dengan sang pencipta menjadi tema sentral dalam IBD. Pokok-pokok bahasan yang dikembangkan adalah :
1.Manusia dan cinta kasih
2.Manusia dan Keindahan
3.Manusia dan Penderitaan
4.Manusia dan Keadilan
5.Manusia dan Pandangan hidup
6.Manusia dan tanggungjawab serta pengabdian
7.Manusia dan kegelisahan
8.Manusia dan harapan
Ilmu Budaya Dasar berkaitan pula dengan Pengetahuan Tentang Perilaku Dasar-Dasar Dari Manusia
Unsur-unsur kebudayaan yaitu :
1. Sistem Religi/ Kepercayaan
2. Sistem organisasi kemasyarakatan
3. Ilmu Pengetahuan
4. Bahasa dan kesenian
5. Mata pencaharian hidup
6. Peralatan dan teknologi

Agama Islam & Budaya Islam


ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI DAN ISLAM SEBAGAI BUDAYA
A. Agama , ideologi dan budaya
Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious). Terdapat banyak tema agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial.
Agama berasal dari bahasa Sanskrit, yang mempunyai arti: tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwarisi turun-temurun. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa agama itu berarti teks atau kitab suci dan atau tuntunan. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa agama itu ajarannya bersifat tetap dan diwariskan secara turun-temurun, mempunyai kitab suci dan berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya.
“Din” dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi, menguasai dan menundukkan untuk patuh kepada aturan Tuhan de­ngan menjalankan ajaran-ajarannya sebagai suatu kewajiban, merasa berutang bagi yang meninggalkan kewajiban yang telah biasa dilakukannya, memberi balasan baik bagi yang mematuhinya dan balasan tidak baik bagi yang melanggarnya.
Sedangkan kata “religi” berasal dari bahasa Latin, mempunyai arti mengumpulkan, membaca dan mengikat. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan kumpulan aturan-aturan lainnya yang dikumpulkan dalam kitab suci yang harus dibaca, dan di samping itu, agama juga mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, ikatan antara manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi atau ikatan antara manusia dengan Tuhan-nya. Sedangkan komponen-komponen atau unsur – unsur penting yang ada atau yang harus ada dalam agama adalah: 1) Kekuatan gaib. 2) Keyakinan manusia 3) Respons yang bersifat emosional dari manusia. 4) Paham adanya yang kudus {sacred) dan suci dalam bentuk keku­atan gaib. Maka agama dapat diartikan sebagai jalan yang harus dilalui dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat berhubungan dengan kekuatan gaib dan supranatural melalui aktivitas penyembahan dan pemujaan agar hidup bahagia dan sejahtera.
Ideologi dan budaya
Ideologi dapat berarti suatu faham atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja para filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Contoh : Ideologi sosialis-komunis dan liberalis-kapitalis di dunia Eropa Timur dan dunia Barat, dan faham Jabariah dan Qadariah di dunia Islam adalah contoh dalam hal ini.
Ideologi ini dapat melahirkan suatu kebudayaan, di samping ide­ologi itu sendiri merupakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah hasil dunia, rasa dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian, ideologi itu mesti kebudayaan tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama (wahyu), ideologi dan kebudayaan seringkali sulit untuk dibedakan. Karena ketiganya sama-sama dapat dijadikan sebagai pedoman hidup walaupun-masing-masing mempunyai nilai yang berbeda. Agama dapat di ideologikan dan dibudayakan. Sebaliknya ideologi dan kebudayaan dapat diagamakan. Agama (wahyu) pada dasarnya bukan ideologi — dan memang bukan ideologi—akan tetapi dapat dijadikan sebagai ideologi apabila agama (wahyu) itu sudah dipersepsi oleh seseorang atau sejumlah orang dan dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya.
Agama budaya
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan penuh tanggung jawab sehingga mampu mencer­minkan agamanya. Sebaliknya dapat menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Agama Wahyu (langit) dan Agama Budaya (adat istiadat)
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran — walau sebenarnya relatif — atau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah proses lahirnya agama budaya atau agama ardli.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misal­nya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto dan sebagainya, terma­suk aliran kepercayaan.
B. Islam sebagai Ideologi
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang dicia-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama; menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya, meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal dari kata “aslama”, berarti“patuh” dan “menyerahkan diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat sejahtera”,mengandung pengertian “damai”. Orang yang menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni “aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah “Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret). Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).
Namun nama “Is­lam” mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah). Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang funda­mental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang lain yang datang sebelumnya.
C. Islam sebagai Budaya dalam perspektif masyarakat Jawa.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999) yang diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok, ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya tiga masyarakat, yaitu :
Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur dan makanannya enak-enak.
Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim.
Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana. Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam, walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan, Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam.
Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum), tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut (makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya. Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan, seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru, yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu. Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi modern.
Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu, aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi, seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan pengetahuan yang dalam.
Pengaruh Islam dapat dikatakan tidaklah terlalu besar. Agama ini hanya menyentuh kulit luar budaya Hindu-Budha-Animistis yang telah berakar kuat. Akibatnya Islam menurut pendapat Geertz, C (1975)” Islam tidak bergerak ke wilayah baru, melainkan ke salah satu wilayah bentukan politik,estetika, religius dan sosial terbesar di Asia, yakni kerajaan Jawa Hindu/Budha, yang walaupun pada masa itu mulai melemah, telah berakar kuat di masyarakat Indonesia (khususnya di Jawa, walau tak hanya disana).
Fenomena ini juga dijelaskan , menurut Muhaimin (2002) di Jawa, ”Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya menyelaraskannya”. Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah Tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir di pesisir. Melalui proses panjang asimilasi secara damai dan berhasil membentuk kantong-kantong masyarakat pedagang di beberapa kota besar dan dikalangan petani kaya. Komunitas muslim itu kemudian memeluk suatu sinkritisme yang menekankan aspek kebudayaan Islam. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang terdiri atas : a) Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan elemen petani. b) Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu. c) Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.
Keadaan kebudayaan masyarakat ini sebenarnya seirama dengan situasi etnis (suku bangsa) pendatang, dimana secara tegas tidak diketahui secara pasti ketika itu. Yang dapat diketahui sesudah berkembangnya agama Islam di Jawa. Sampai sekarang terlihat bahwa kebudayaan mereka berlatar belakang ajaran Islam. Adat istiadat yang berkembang di daerah Jawa tetap bernafaskan Islam, walaupun bentuk dan tata cara pelaksanaanya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lain dalam satu desa. Bahkan juga kesenian dan kebudayaan lainnya turut berkembang sehingga terlihat adanya percampuran antara Hindu dan Islam contoh pagelaran wayang kulit, budaya slametan, pitonan bayi, bersih deso, penerapan penanggalan Jawa : legi,pon,wage,pahing kliwon.
Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa, sebagian masih percaya dengan animisme dan dinamisme. Misalnya , ketika seseorang menggali sumur, saat itu agak emosi karena ada sesuatu yang kurang pas dengan pekerja sawahnya. Ketika emosi muncul tiba-tiba galian tanah yang mau dipakai untuk sumur tidak bisa dilanjutkan karena ada pondasi yang terbuat dari batu merah persis batu merah yang ada di candi Trowulan, Mojokerto. Akhirnya mereka berhenti dan pulang. besuknya, mereka mau menggali sumur di tempat sebelahnya. Sesampainya di sawah, Ternyata pondasi sudah tidak ada lagi. Karena pondasi sudah tidak ada lagi, mereka melanjutkan penggaliannya di tempat itu dengan keyakinan bahwa di tempat ini ada danyangnya (makhluk ghaib yang menjaga tempat itu). Maka dengan hormatnya mereka mengadakan ritual adat berupa permintaan maaf dan permohonan ijin kepada sang penunggu dengan sesaji berupa slametan. Kejadian semacam tadi tidak hanya dialami oleh satu orang saja, tetapi masih ada lagi pengalaman nyata yang dialami oleh orang-orang Islam lainnya yang ada di Jawa dan bukan menjadi rahasia umum lagi.
Akhirnya, Geertz sampai pada muara kesimpulan bahwa yang dinamakan agama Jawa tidak lain adalah sinkretisme. la melihat adanya perpaduan antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam yang datang belakangan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam praktik slametan yang biasanya dilakukan oleh kalangan Abangan. Pada praktik slametan terkandung berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di situ ada praktik magis berupa kepercayaan kepada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu doa yang dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slemetan. Sehingga Islam melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya.