GLOBALISASI
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia
yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi
mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh
aspek penting kehidupan. Globalisasi
menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab,
dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Globalisasi sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar
dua puluh tahun yang lalu, dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru
sekitar lima atau sepuluh tahun terakhir. Sebagai
istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat seluruh
dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia
secara mendasar.
Globalisasi sering diperbincangkan oleh banyak orang, mulai dari
para pakar ekonomi, sampai penjual iklan. Dalam kata globalisasi tersebut
mengandung suatu pengetian
akan hilangnya satu situasi dimana berbagai pergerakan barang dan jasa antar
negara diseluruh dunia dapat bergerak bebas dan terbuka dalam perdagangan. Dan
dengan terbukanya satu negara terhadap negara lain, yang masuk bukan hanya
barang dan jasa, tetapi juga teknologi, pola konsumsi, pendidikan, nilai budaya
dan lain-lain.
Konsep akan globalisasi menurut Robertson
(1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan
peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi
global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia
dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran
dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya.
Globalisasi memiliki banyak penafsiran
dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang menafsirkan globalisasi sebagai
proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah
perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa globalisasi adalah upaya
penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup, orientasi, dan
budaya.
Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan
koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke
berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita.
Produksi global atas produk lokal dan lokalisasi produk global.
GLOBALISASI DAN
BUDAYA
Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa
sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa
Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap
seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah
kebudayaan. Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu
kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk
keseniannya. Kesenian rakyat, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa
Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi.
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang
dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan
dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi
bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam
globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh
negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka
yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru
negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia
selalu khawatir akan tertinggal dalam arus
globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya,
termasuk kesenian kita.
Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah
dunia secara mendasar Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia
secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan
batas-batas budaya setiap bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan
menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni,
sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan
meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini,
setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru
sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi,
menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara Dunia Ketiga harus
memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar
tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia
Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah
pengalaman mereka.
Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia
Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap
rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi
sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas
budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa
di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan lewat imperialisme, kini dilakukan
dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.
GLOBALISASI DALAM KEBUDAYAAN TRADISIONAL DI
INDONESIA
Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam
interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat
lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami
nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan
mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam
kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung
begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi banyak negara-negara
berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan kebudayaan, padahal di
negara-negara maju perubahan demikian berlangsung selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga
bangsa-bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar.
Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal
inilah yang terjadi dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi
bukan hanya soal ekonomi namun juga terkait dengan masalah atau isu makna budaya dimana
nilai dan makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti. Terkait dengan kebudayaan,
kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun
persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau
kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan
atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat), dimana hal-hal
tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu nilai-nilai
maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu
apa yang terdapat dalam alam pikiran.Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting
artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh
apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah
satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan
subsistem dari kebudayaan.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam
berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah
geografisnya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan
pula dalam berbagai ekspresi keseniannya. Dengan perkataan lain, dapat
dikatakan pula bahwa berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat
mengembangkan keseniannya yang sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya
itu menjadi model-model pengetahuan dalam masyarakat.
GLOBALISASI : PERSEBARAN BUDAYA DUNIA
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan
budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah
terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini
dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat
di dunia ini ( Lucian
W. Pye, 1966 ).
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan
berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak budaya tidak perlu melalui
kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan. Karena
kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal yang
melibatkan sejumlah besar orang (Josep Klapper, 1990).
Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi
global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini berarti banyak pula masyarakat (yang terlibat
dalan proses komunikasi global) menjadi exposed terhadap informasi, dan terkena dampak
komunikasi tersebut. Karena itu, tidak mengherankan bila globalisasi
berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi
komunikasi modern, mulai bermunculan portable
radio, televisi, televisi satelit, dan kemudian internet. Keunggulan media massa, baik cetak
maupun elektronik, adalah bahwa media tersebut mampu menyuguhkan gambar-gambar
secara jelas dan terinci kepada para pemakainya.
Akibatnya, para pemakai media massa tersebut mengetahui apa yang
terjadi di tempat lain dengan budaya yang berbeda dalam waktu yang
singkat. Mereka dapat melihat dan mengetahui keunggulan-keunggulan budaya
yang dimiliki masyarakat lain melalui media massa tersebut. Sikap yang
dapat muncul dari sini adalah sikap yang memandang secara kritis apa yang
mereka miliki dan bagaimana mengimbanginya dengan nilai-nilai budaya yang sudah
mereka miliki itu, termasuk sikap kritis dari bangsa Indonesia sendiri terhadap
apa yang sudah mereka miliki.
Terkait dengan globalisasi, mitos yang hidup selama ini tentang
globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam.
Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri.
Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau
kekuatan budaya global.Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak
sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat
batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna.
John Naisbitt (1988)[2], dalam bukunya yang berjudul Global
Paradox memperlihatkan
hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988)
mengemukakan pokok-pokok pikiran ,
yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi
kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal, namun
bertindak global. Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita
harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki
oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia
Internasional. Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti
yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada
masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam era globalisasi ini.
PERUBAHAN BUDAYA DALAM GLOBALISASI ;
KESENIAN YANG BERTAHAN DAN YANG TERSISIHKAN
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni
perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari
nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social
merupakan salh satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana
transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap
bangsa.
Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan
menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya
saja khusus dalam bidang
hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah
sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di
tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv
internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak
dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain
yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun
makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan
bukti tentang betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil
memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga.
Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh
terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan
bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di
saat yang lain dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat
ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang
lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian
tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan
hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi.
Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya
kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat
akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi
kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat
dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial
yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan
globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian
yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai
tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua
kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih
menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus
tertindas proses modernisasi.
Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah
menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan
hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak
tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya
akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang
Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi
seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang
merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya
akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai
moral yang baik, menurut saya. Contoh
lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di
Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk
merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat
globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa
tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di
berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian
tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi.
Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis
tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu
beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah
menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak”
yang dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat. Kenyataan di atas menunjukkan
kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak
yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi
bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang
telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan
mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir yaitu wayang kulit. Beberapa dalang
wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap
diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan
secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun
lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan
besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional
kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian
tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap
beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu
bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional[3].
KESENIAN RAKYAT DALAM
ORIENTASI GLOBALISASI
Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian
rakyat berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan
tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam. Tekanan dari
pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai
karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern
lagi yang dikenal dengan budaya pop[4].
Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan
kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun
teknologi., sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat.
Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan
segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian
rakyat semakin tertekan lagi.
Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini
tentu saja didasarkan atas pemikiran yang pragmatis dan cenderung mengikuti
perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang ada. Dengan
demikian, pengaruh ini jelas-jelas mempunyai dampak yang besar terhadap
perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri.Di pihak lain, adanya
masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti
perkembangan pembangunan.
Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) ini tidak dapat
bangun lagi karena kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat
modern. Sementara itu pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan
kesenian tradisional di daerah. Hal ini, bisa saja disebabkan
oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan konsep-konsep dasar
pembangunan di bidang kesenian yang penekanannya dan intinya melestarikan dan mengembangkan
kesenian yang bertaraf dengan kecenderungan universal. Sehingga,
kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat dianggap tidak sesuai dengan
objek-objek dan tujuan dari pembangunan yang sedang dijalankannya
ini. Dengan kata lain,
bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat dibanggakan sebagai
bukti keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya.
Sesungguhnya, bagi kesenian rakyat Indonesia, kesempatan untuk
mengadaptasi pemikiran Naisbitt[5] sangat cukup terbuka, karena kekayaan kesenian yang dimiliki
bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia
Internasional. Sebagai salah satu contoh, misalnya tari Piring dari
Sumatra Barat. Tari Piring ini sesungguhnya sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi lebih modern lagi melalui kolaborasi. Untuk menuju
kepada tindakan ini harus ada upaya atau perbaikan–perbaikan yang perlu
diperhatikan agar kemasan kesenian tradisional bangsa Indonesia dapat diterima
dan berkembang secara global, walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai
asli/lokal.
PERAN PEMERINTAH DALAM KESENIAN RAKYAT
Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada
pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya, menurut
pendapat saya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995)[6], dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing
Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia
Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan
tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan,
kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan
pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural.
Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku
aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana
banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai
dengan tuntutan pembangunan. Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian
rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi. Melihat kecenderungan tersebut, maka
saya pribadi melihat aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang
sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan
simbol-simbol pembangunan. Hal ini tentu saja mengabaikan masalah
pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar
didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model
saja dalam pembangunan.
Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat
mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau
natural, karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi
sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan
rasional.
Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya
kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya
sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan
tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Aparat pemerintah di sini
turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi
terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang
tidak dikehendaki terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian
rakyat tersebut, maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai
pelindung dan pengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur
dalam proses estetikanya.
Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan
bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan
bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat
keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas)
yang diinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus
‘melakoni’[7] dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi
keaslian dan perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus
merubah dan menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik.
Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium
baru seperti saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus
beradaptasi dengannya karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui
bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat
besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata.
Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya.
Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang
keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal
selama ini. Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi
perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi
dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini. Kesenian bangsa
Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak
dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan
pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan
lokal atau etnis.
Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan
memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang
sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya
menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah,
dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan
pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih
sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian
yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang
dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat
cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan
modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan,
baik dalam menentukan kualitas maupun selera. Hal ini sangat memungkinkan
keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata
oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas
dari budaya pop.
Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif
untuk mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para
seniman rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai
pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi
kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau
dana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja.
No comments:
Post a Comment