1. Latar Belakang
Modal manusia dalam mendorong pembangunan ekonomi sudah sangat dipahami oleh para ahli ekonomi dan pengambil
kebijakan. Sehingga tidak jarang, strategi pembangunan disebagian besar
negara memprioritaskan pada pembangunan kualitas modal manusia dengan melakukkan perbaikkan sistem pendidikan dan support anggaran (subsidi) yang besar. Selain itu pembangunan modal manusia diyakini tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan,
namun juga berperan sentral mempengaruhi distribusi pendapatan di suatu
perekonomian. (Becker, 1964; Schultz, 1981 dalam Heckman, 2005). Logika ini jugalah yang mendorong strategi pengentasan kemiskinan yang bersentral pada pentingnya pembangunan modal manusia (human capital).
Dalam
upaya mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable
development), sektor pendidikan memainkan peranan yang sangat strategis
khususnya dalam mendorong akumulasi modal yang dapat mendukung proses
produksi dan aktivitas ekonomi lainnya. Secara definisi,
seperti yang dilansir dalam World Commision on Environmental and
Development, 1997 dalam McKeown (2002), bahwa sustainable development
adalah: “Sustainable development is development that meets the needs of
the present without comprimising the ability of future generations to
meet their own needs.” Dalam konteks ini,
pendidikan dianggap sebagai alat untuk mencapai target yang
berkelanjutan, karena dengan pendidikan aktivitas pembangunan dapat
tercapai, sehingga peluang untuk meningkatkan kualitas hidup di masa
depan akan lebih baik. Di sisi lain, dengan pendidikan, usaha
pembangunan yang lebih hijau (greener development) dengan memperhatikan
aspek-aspek lingkungan juga mudah tercapai.
Romer, 1986; Lucas, 1988 (dalam Cui et.,al. 2008) Menjelaskan bahwa modal manusia tidak hanya diidentifikasi sebagai kontributor kunci dalam pertumbuhan dan pengurangan
kemiskinan, namun juga mendorong tujuan pembangunan untuk meningkatkan
human freedom secara umum. Selain itu, fokus perkembangan global saat ini yang dicatat dalam millennium development goals juga telah memposisikan perbaikkan kualitas modal manusia dalam prioritas yang utama.
Dikebanyakan negara miskin dan berkembang, kurangnya sumberdaya dan modal (termasuk modal manusia) diidentifikasi sebagai penyebab utama lemahnya daya saing dan hambatan untuk maju. Keadaan ini secara
umum disebabkan karena lingkaran setan kemiskinan yang menyebabkan
negara tersebut sulit sekali untuk melakukkan investasi dan akumulasi modal yang penting bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Hal ini juga
dipertegas oleh Jeffrey Sachs (2005) yang menjelaskan bahwa salah satu
penyebabnya adalah lack of innovation, yang mana berkaitan dengan
kurangnya investasi dalam knowledge ekonomi sehingga mengurangi insentif
masyarakat untuk berkreativitas dan meningkatkan produktivitasnya.
Kondisi modal manusia di negara miskin dan berkembang semakin parah dengan adanya pengaruh globalisasi ekonomi yang tidak terkendali. Hal ini disebabkan karena peluang (oppurtunity) Globalisasi ekonomi hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki kemampuan dan knowledge yang baik. Rendahnya kualitas modal manusia dihampir sebagian negara miskin dan berkembang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap perubahan globalisasi yang cepat, sehingga akhirnya larut dan dirugikan dalam proses didalamnya. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan dalam teori perdagangan internasional
“Heckscher-Ohlin” model, yang mana perdagangan internasional membawa
dampak pada distribusi pendapatan khususnya terhadap para pemilik sumber
daya maupun pekerja.
Dalam konteks ini, maka peran pemerintah dalam mengisi gap kurangnya modal harus dapat diisi oleh pemerintah. Hal ini bisa
dilakukan dengan meningkatkan anggaran sosial (social spending) untuk
subsidi khususnya di sektor pendidikan. Dalam beberapa penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Shultz, 1999 dan Barro,
1996b (dalam Cui et.,al. 2008) menegaskan pentingnya peran pemerintah
dalam mengisi peran tersebut. Sebagai contoh, dengan tingginya social
spending dalam pendidikan tinggi akan meningkatkan kesadaran akan
pentingnya pendidikan bagi keluarga dan meningkatkan
kapasitas kesehatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Dalam pengembangan model ekonomi tersebut dijelaskan juga bagaimana
interaksi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi secara umum.
Namun, pengembangan model juga telah dikembangkan dengan baik oleh
beberapa peneliti (Gupta et.al., 2002a dan Hausmann,
Pritchett and Rodrik, 2005) bahwa secara lebih spesifik efektivitas
social spending (pendidikan) bagi pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi
oleh aspek penting pemerintah, dimana pemerintahan yang buruk
berkontribusi terhadap pelaksanaan aktivitas pendidikan yang dapat
mendukung proses pembangunan.
Pendidikan dan kesehatan selain harus dianggap sebagai suatu hak asasi dan bentuk keadilan, juga harus difahami sebagai perbaikkan kebebasan masyarakat untuk berkembang dan memperbaiki dirinya, lepas dari lingkaran setan dan jeratan kemiskinan. Efektivitas pencapaian tujuan ini tentu sangat tergantung dari dukungan atau support pemerintah dalam konteks penganggaran investasi fasilitas dasar pendidikan dan pemberian subsidi (transfer of payment) khususnya bagi masyarakat miskin.
Dalam menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan modal manusia khususnya di negara miskin dan berkembang, maka dalam tulisan ini akan
dibagi menjadi dua pembahasan. Pertama, pembasahan ekonomi positif,
yang erat kaitannya dengan perspektif makroekonomi. Dalam konteks ini selain
akan membahas bagaimana peran anggaran (subsidi) dalam model
pertumbuhan endogen. Selain itu juga akan didiskusikan analisis
intertemporal (antar waktu) akibat implementasi kebijakan anggaran yang
dilakukkan saat ini dan bagaimana
pengaruhnya terhadap perilaku individu dimasa depan. Kedua, Pembahasan
ekonomi normatif, yang mana pendidikan berkontribusi dalam proses-proses
pembangunan khususnya sebagai penguat modal manusia (human capital) menghadapi keterbukaan ekonomi. Dalam konteks ini,
proposisi bahwa globalisasi dapat meningkatkan gap distribusi
pendapatan yang semakin besar seperti yang dijelaskan dalam teori
perdagangan internasional “Heckscher-Ohlin Model”, akan dapat diredam
dengan adanya perbaikan pendidikan atau penguatan kualitas human capital.
2. Subsidi (Kebijakan Fiskal) dalam perspektif Makroekonomi
Sebelum memulai analisa terhadap subsidi sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, ada baiknya kita memahami definisi dari subsidi itu sendiri. Berdasarkan kamus wikipedia, subsidy dapat dijelaskan sebagai berikut:
In
economics, a subsidy (also known as a subvention) is a form of
financial assistance paid to a business or economic sector. A subsidy
can be used to support businesses that might otherwise fail, or to
encourage activities that would otherwise not take place. (Wikipedia
Dictionary)
Dalam konteks makroekonomi, subsidi merupakan salah
satu bentuk instrumen fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan respon jangka pendek dalam
siklus bisnis atau ekonomi, yang mana dilakukkan untuk menutup gap
fluktuasi output. Kebijakan ini biasanya
dilakukkan untuk mengisi kekosongan dalam aggregate demand sehingga
perekonomian dapat didorong hingga mendekati titik optimal atau
potensialnya. Oleh karena itu, kualitas dari kebijakan fiskal tentu
menjadi topik kajian yang penting karena dapat mengoptimalkan fungsi
kebijakan fiskal untuk mengatasi fluktuasi output. Namun, meski
kebijakan fiskal merupakan isu sentral dalam kebijakan jangka pendek
(short run policy), pengaruhnya dalam jangka panjang tidak seharusnya
dihiraukan.
Di sisi pengeluaran, pengeluaran
pemerintah (government expenditure) dapat mendukung pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang. Sebagai contoh, model pertumbuhan endogen
(endogenous growth) yang memperkenalkan pengeluaran pemerintah sebagai
mesin pertumbuhan. Pemikirian ini disampaikan oleh Robert Lucas (1980), yang meyakini bahwa investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan modal manusia dalam
perekonomian. Investasi pendidikan dianggap memiliki implikasi yang
positif terhadap penambahan sumber daya bagi perekonomian, sehingga
dapat meningkatkan output secara umum. Oleh karena itu, perubahan dalam
pengeluaran bidang pendidikan yang dipengaruhi oleh kebijakan fiskal jangka pendek akan mendukung proses akumulasi dalam modal manusia sehingga pada akhirnya akan mendorong pada pertumbuhan ekonomi. (Keuschnigg and Fisher, 2002 Dalam Zagler and Durnecker, 2003).
Namun perlu disadari bahwa disisi penerimaan, pajak dapat mendistorsi keputusan individu masyarakat. Hal ini secara umum disebabkan karena distorsi pajak akan mengubah perilaku individu masyarakat untuk menabung dan berinvestasi, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi akumulasi modal dan
pertumbuhan ekonomi. Dalam model Ricardian, pengeluaran pemerintah
dianggap sebagai Tax Delayed atau pajak yang tertunda. Dalam pandangan ini, masyarakat akan memiliki ekspektasi bahwa pajak akan meningkat dimasa depan, akibat keadaan defisit pada saat ini. Sehingga pandangan ini beranggapan bahwa pengeluaran pemerintah tidak ada bedanya dengan distorsi pajak, dan hanya mendistorsi ekonomi.
Singkatnya,
dalam intertemporal analisis, budget constraint pemerintah dalam
anggaran sosial (ex: subsidi pendidikan) akan menciptakan ekspektasi
masyarakat bahwa kebijakan defisit anggaran ini akan menyebabkan koleksi peningkatan pajak dimasa depan. Keadaan inilah
yang secara umum akan mendorong perilaku masyarakat untuk menahan
pengeluarannya dengan melakukkan akumulasi tabungan. Dengan kata lain,
perubahan perilaku ini secara
umum akan menyebabkan terkoreksinya pengeluaran pemerintah (government
spending) karena melemahnya sisi konsumsi masyarakat (salah satu
Komponen Aggregate Demand). Sehingga pada akhirnya, mereka beranggapan
kebijakan ini tidak akan efektif mendorong pertumbuhan output.
Namun tentu saja, keadaan ini merupakan
analisis ekonomi positif yang terjadi dalam dunia Ricardian. Social
spending sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, memiliki efek
yang lebih luas seperti yang dimodelkan dalam pandangan
ekonomi positif. Bahwa social spending “pendidikan”, memiliki dimensi
yang kompleks menyangkut dimensi pendapatan maupun non-pendapatan. Dalam
dimensi pendapatan, jika social spending bagi subsidi pendidikan dapat
meningkatkan tingkat pengembalian yang maksimal bagi pendapatan maka
bisa dibilang bahwa social spending bisa menjadi alat yang tepat bagi
perekonomian. Analisis ini tentu sangatlah static, dan tidak mempertimbangkan bagaimana pengaruhnya yang lebih luas dalam pengembangan mental manusia, cara berfikir, berkreasi, kebebasan dan pengembangan inovasi yang tinggi. Bahwa permasalahan modal manusia bukanlah permasalahan yang sifatnya temporal, namun lebih luas lagi menyangkut kebebasan dan perlakuan yang lebih baik untuk mengubah kualitas hidup manusia. Dimensi non-pendapatan inilah yang strategis, dan perlu kajian lebih mendalam.
3. Pendidikan dan Globalisasi Ekonomi
Globalisasi
sebagai suatu fakta yang tidak terelakkan, telah memasuki fase baru
yang telah menciptakan dependensi yang kuat antar ekonomi negara-negara
didunia. Globalisasi telah mempengaruhi perekonomian dan kehidupan
suatu negara melewati beberapa channel, antara lain: perdagangan
internasional, liberalisasi keuangan, Penanaman modal asing dan transfer teknologi. Meskipun potensi keuntungan telah diraup oleh beberapa negara dengan memanfaatkan era globalisasi (ex. India dan China), namun dalam kajian terbaru bahwa integrasi ekonomi telah memaksa terjadinya konflik dalam distribusi pendapatan.
Dengan semakin terbukanya perekonomian, setidaknya ada 3 channel penting mengapa investasi dalam modal manusia menjadi sangat strategis. Pertama, akumulasi modal manusia adalah determinan penting dalam pertumbuhan dan pengurangan
kemiskinan. Kedua, karena pendidikan memiliki peran yang penting dalam
distribusi pendapatan yang lebih merata, maka dengan pendidikan efek gap
pendapatan yang meningkat akibat globalisasi dapat diredam. Ketiga,
aspek penting dalam akumulasi modal manusia bagi
tatanan masyarakat adalah dengan semakin baiknya pastisipasi politik
masyarakat yang dapat mensuport ekonomi. (Verdier and Bourguignon, 2005)
Permasalahan utama dalam perdagangan internasional akibat globalisasi berkaitan dengan efek disparitas pendapatan. Hal ini dapat disimpulkan dalam model Hecksher-Ohlin: “A country will be better off with trade, but owners of abundant
factors gain and owners of scarce factors lose; with trade, owners of
scarce factors will be worse off without compensation.” Secara umum
teori ini menjelaskan
bahwa sebagian masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan perdagangan
internasional karena tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan
perekonomian, akan mengalami kerugian akibat perdagangan. Jika teori ini kita
kembangkan lebih luas dalam konteks knowledge economy, maka sebagian
masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup sudah pasti akan
dirugikan karena mereka tidak akan mampu mengambil kesempatan
(oppurtunity) dalam perekonomian.
Pengembangan
model diatas memiliki asumsi dengan keadaan pasar kredit yang tidak
sempurna (imperfect credit markets), maka masyarakat miskin akan
mengalami kesulitan likuiditas untuk mendapatkan akses pinjaman untuk
melakukkan investasi di dunia pendidikan. Hal ini yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan masyarakat miskin untuk mengubah kualitas hidupnya dan mengambil
keuntungan dalam globalisasi. Dalam perspektif pendapatan, akibat
ketidakmampuan melakukkan investasi dalam pendidikan, masyarakat miskin
tidak akan dapat menikmati perbaikkan pendapatan sehingga menimbulkan
disparitas pendapatan yang tinggi dengan mereka yang dapat menikmati
keuntungan globalisasi (orang kaya).
Namun, keadaan ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah tahu betul posisinya dalam memecahkan masalah ini. Hal yang bisa dilakukkan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah
dengan menutupi kekurangan likuiditas masyarakat miskin dengan
meningkatkan anggaran subsidi dalam dunia pendidikan. Realisasi ini hanya
bisa dicapai jika tekanan politik masyarakat untuk menginginkan hal
tersebut dapat tercapai. Hal yang perlu disadari bahwa pemerintah yang
memberikkan prioritas terhadap kapabilitas dasar manusia (kesehatan dan pendidikan)
tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, namun juga
akan mendorong perbaikkan dalam distribusi pendapatan dalam jangka
panjang. Selain itu, kontributor kunci bagi pembangunan “pendidikan”
tidak hanya memberikkan keuntungan dalam dimensi pendapatan, namun juga
berkontribusi pada dimensi non pendapatan. (Becker, 1964; Schultz, 1981
dalam Heckman, 2005).
Keuntungan dari modal manusia tentu memiliki pengaruh yang luas dalam perekonomian, khususnya bagaimana kontribusi modal manusia dalam mendororong produktivitas, serta mengembangkan adaptibility dan efisiensi alokasi. Pertama, berkaitan dengan kontribusi modal manusia. Investasi dalam pendidikan (training)
secara umum akan meningkatkan skill pekerja, sehingga pada akhirnya
produktivitas mereka dalam bekerja dapat ditingkatkan secara optimal.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan pengembangan adaptibility dan efisiensi alokasi. Bahwa dengan semakin meningkatnya kualitas modal manusia dalam
perekonomian, maka pekerja yang berskill baik akan lebih pintar untuk
mengalokasikan sumberdaya yang ada untuk setiap pekerjaan serta lebih
mudah untuk beradaptasi dengan adanya perubahan kondisi dan menangkap peluang. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Nelson and Phelps, 1966; Schultz, 1975 dalam Heckman 2005.
Selain itu, dengan semakin baiknya skill yang dimiliki oleh pekerja, yang berarti semakin baik modal manusia, maka kemampuan individu untuk menuangkan ide baru, mengadopsi teknologi baru dan mengimplementasi
pengetahuan yang datang dari luar akan semakin mudah. Dengan semakin
meningkatnya keterbukaan terhadap dunia luar, maka kebutuhan modal manusia yang
dapat mengabsorp teknologi dari luar menjadi sangat penting.
Ketidakseimbangan strategi investasi dapat mengurangi rate of return on
investment, karena manusia sebagai operator yang ada dibalik penggunaan mesin tersebut tidak mampu secara optimal mengaplikasikannya. Selanjutnya, modal manusia di sektor pertanian (agriculture) juga sangat penting, yaitu bagaimana modal manusia dapat menangkap perubahan pasar dan menerapkan
teknologi. Angkatan kerja dengan pendidikan yang baik dapat mengambil
keputusan yang baik, baik dalam sektor pertanian maupun industri
perkotaan. Overinvestment disalah satu sektor dengan mengabaikan
investasi sektor pendukungnya dapat menyebabkan kehilangan kesejahteraan
(welfare lost) dan ketidakmerataan distribusi pendapatan.
Dalam
kasus yang spesifik, yaitu sektor pertanian. Rendahnya produktivitas
petani salah satunya disebabkan oleh rendahnya kualitas pendidikan
petani. Sebagai pekerja disektor yang subsistem, yang memiliki ruang
gerak yang sempit untuk berkembang dan meningkatkan
pendapatan. Para petani di negara berkembang terperangkap dalam kondisi
yang kurang menguntungkan, bahkan mereka dikategorikan sebagai pekerja
yang tidak berkeahlian (unskilled labour) dengan pendapatan yang sangat minimal. Dalam kondisi ini, tentu saja investasi masa depan dalam dunia pendidikan hanya sebagai angan-angan dan impian semu.
Selain tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupannya dimasa depan akibat minimnya pendidikan, keadaan ini juga
akan mempengaruhi produktivitas petani dalam produksinya. Dalam
beberapa penelitian yang ada, pendidikan (literacy and numeracy) akan
membantu petani dalam mengaplikasikan metode baru dalam pertanian,
mengatasi resiko dan merespon
sinyal pasar. Selain itu, dengan pendidikan (literacy and numeracy)
petani akan lebih baik dalam melakukkan pencampuran bahan kimia (pupuk dan pestisida) sehingga mengurangi bahaya bagi manusia dan lingkungan.
Terakhir, pendidikan dasar akan memudahkan para petani untuk melakukkan
pinjaman pada lembaga keuangan, untuk kebutuhan investasi pertanian.
Di sisi lain, keadaan ini akan
juga lebih baik jika akses pendidikan bagi masyarakat miskin juga bisa
diakses dengan lebih baik bagi para wanita. Dengan semakin baiknya
tingkat pendidikan wanita dalam keluarga, maka perencanaan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik dalam keluarga akan semakin mudah untuk terealisasi. Hal inilah yang secara umum akan membantu mendorong pencapaian tujuan pembangunan secara aggregat.
4. Policy Implication
Kebijakan anggaran (subsidi) yang pro-poor dan pro-growth.
Dalam memahami permasalahan kemiskinan dan disparitas pendapatan yang mengancam akibat derasnya era globalisasi. Maka diperlukkan keberanian dan upaya strategis pemerintah untuk meredamnya. Dalam konteks ini peran
strategis pemerintah ada pada keputusan politik anggaran (subsidi)
untuk perbaikkan kualitas pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat
miskin. Hal ini juga dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Cui et.,al. 2008 yang menunjukkan bahwa investasi pendidikan dan kesehatan
memiliki kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan output, namun
dengan rute mekanisme yang berbeda. Selanjutnya dalam penelitian itu
dijelaskan bahwa keadaan pemerintah yang baik (good governance)
mendukung efektifitas pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan
output.
Berdasarkan Sumarto dan Mawardi,
2003, pemerintah memiliki peran yang strategis dalam mengarahkan
kebijakan anggarannya ke kebijakan publik yang memihak masyarakat tidak
mampu. Hal ini dilakukkan agar kebijakang anggaran dapat memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Setidaknya
ada tiga hal utama yang dijelaskan dalam paparanya, antara lain
pentingnya: political willingness, iklim yang mendukung dan tata pemerintahan yang baik. Pertama, dalam konteks “Political Willingness”. Perlu adanya komitmen kuat dari pemerintah untuk bertanggungjawab dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi
sangat penting agar penyusunan program-program yang pro poor dapat
menempatkan program kemiskinan pada prioritas utama. Kedua, Iklim yang
Mendukung. Iklim atau kondisi yang mendukung untuk penyusunan kebijakan
anggaran yang pro poor dapat berjalan jika ada kesadaran kolektif bahwa
kemiskinan adalah permasalahan utama yang harus diselesaikan. Di sisi
lain, perlu juga dukungan peraturan dan kebijakan strategis yang mendukung penanggulangan kemiskinan.
Ketiga,
adalah Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance). Mengingat
kemiskinan bersifat multidimensi, maka penanggulangannya tidak cukup
hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, melainkan memerlukan
kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata lain diperlukan adanya
tata pemerintahan yang baik (good governance) dari lembaga-lembaga
pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan pelayanan umum lainnya.
5. Kesimpulan
Dalam
menghadapi era globalisasi yang memiliki implikasi pada disparitas
pendapatan, pemerintah perlu menyiapkan langkah strategis untuk meredam
efek negatif tersebut. Peran sentral ini hanya bisa diisi oleh penguatan pendidikan untuk meningkatkan kualitas human capital (modal manusia) agar masyarakat negara miskin dan berkembang
dapat mengambil keuntungan dalam era globalisasi. Rendahnya akumulasi
modal karena keadaan yang serba susah di negara miskin dan berkembang mendorong peran strategis pemerintah untuk mengisi kekurangan likuiditas dan keadaan
imperfect markets. Dengan kontribusi pemerintah berupa subisidi
anggaran pendidikan, tentu masyarakat akan mampu mencapai titik optimal
kesejahteraan dengan manfaat yang luas dari pendidikan. Hal inilah yang secara umum dapat menguntungkan kehidupannya dimasa depan dengan peningkatan kualitas hidup dan pendapatan.
Sumber : http://iamtheeconomist.blogspot.com/2008/09/modal-manusia-dan-globalisasi-peran.html
No comments:
Post a Comment