ISLAM SEBAGAI
IDEOLOGI DAN ISLAM SEBAGAI BUDAYA
A. Agama , ideologi dan budaya
Agama
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang
universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan
pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama” (religious).
Terdapat banyak tema agama termasuk dalam superstruktur: agama terdiri atas
tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dengan mana
makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena
agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam
struktur sosial.
Agama berasal dari bahasa Sanskrit, yang mempunyai arti:
tidak pergi, tidak kocar-kacir, tetap di tempat dan diwarisi turun-temurun. Ada
pula pendapat yang mengatakan bahwa agama itu berarti teks atau kitab suci dan
atau tuntunan. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa agama itu ajarannya
bersifat tetap dan diwariskan secara turun-temurun, mempunyai kitab suci dan
berfungsi sebagai tuntunan hidup bagi penganutnya.
“Din” dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum.
Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai menundukkan, patuh, utang,
balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan
hukum yang harus dipatuhi, menguasai dan menundukkan untuk patuh kepada aturan
Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajarannya sebagai suatu kewajiban, merasa
berutang bagi yang meninggalkan kewajiban yang telah biasa dilakukannya,
memberi balasan baik bagi yang mematuhinya dan balasan tidak baik bagi yang
melanggarnya.
Sedangkan kata “religi” berasal dari bahasa Latin, mempunyai
arti mengumpulkan, membaca dan mengikat. Agama memang merupakan kumpulan
cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan kumpulan aturan-aturan lainnya yang
dikumpulkan dalam kitab suci yang harus dibaca, dan di samping itu, agama juga
mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia, ikatan
antara manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi atau ikatan antara manusia
dengan Tuhan-nya. Sedangkan komponen-komponen atau unsur – unsur penting yang
ada atau yang harus ada dalam agama adalah: 1) Kekuatan gaib. 2) Keyakinan
manusia 3) Respons yang bersifat emosional dari manusia. 4) Paham adanya yang
kudus {sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib. Maka agama dapat diartikan
sebagai jalan yang harus dilalui dan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk
dapat berhubungan dengan kekuatan gaib dan supranatural melalui aktivitas
penyembahan dan pemujaan agar hidup bahagia dan sejahtera.
Ideologi dan budaya
Ideologi dapat berarti suatu faham atau ajaran yang
mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil kontemplasi (perenungan) manusia
baik berdasarkan wahyu maupun hasil kontemplasi akal budi secara murni.
Ideologi ini biasanya merupakan hasil kerja para filosof atau orang yang mau
dan mampu menggunakan akalnya untuk memikirkan tentang diri dan lingkungannya
atau segala yang ada. Contoh : Ideologi sosialis-komunis dan
liberalis-kapitalis di dunia Eropa Timur dan dunia Barat, dan faham Jabariah
dan Qadariah di dunia Islam adalah contoh dalam hal ini.
Ideologi ini dapat melahirkan suatu kebudayaan, di samping
ideologi itu sendiri merupakan kebudayaan, karena kebudayaan adalah hasil
dunia, rasa dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian,
ideologi itu mesti kebudayaan tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara agama (wahyu), ideologi
dan kebudayaan seringkali sulit untuk dibedakan. Karena ketiganya sama-sama
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup walaupun-masing-masing mempunyai nilai
yang berbeda. Agama dapat di ideologikan dan dibudayakan. Sebaliknya ideologi
dan kebudayaan dapat diagamakan. Agama (wahyu) pada dasarnya bukan ideologi — dan
memang bukan ideologi—akan tetapi dapat dijadikan sebagai ideologi apabila
agama (wahyu) itu sudah dipersepsi oleh seseorang atau sejumlah orang dan
dijadikan sebagai pedoman dalam hidupnya.
Agama budaya
Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang
dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga
menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang
dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan
agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan
untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan
untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama
dapat mengangkat citra agama apabila pembudayaan itu dilakukan dengan tepat dan
penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya dapat
menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Agama Wahyu (langit) dan Agama Budaya (adat istiadat)
Sedangkan ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya
adalah suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran — walau
sebenarnya relatif — atau dianggap benar atau dapat memberikan
kepuasan. Ideologi atau kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan
dan lebih dari itu dipercayainya sebagai doktrin yang harus diikuti. Inilah
proses lahirnya agama budaya atau agama ardli.
Maka dapat dijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan
sebagai ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu
itu bukan ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat
merupakan pencerminan dari suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang
yang taat beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan
ideologi dan kebudayaan dan dapat pula melahirkan suatu agama yaitu agama
budaya.
Ditinjau dari sumbernya, agama-agama yang dipeluk umat
manusia di dunia ini dapat diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu agama wahyu
dan agama budaya. Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis
dan revealed relegion. Yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini
misalnya agama Yahudi, agama Kristen dan agama Islam. Sedangkan
agama budaya disebut juga sebagai agama bumi, agama filsafat, agama akal,
non-revealed relegion dan natural relegion. Yang termasuk agama budaya dapat
disebutkan di sini misalnya: Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto
dan sebagainya, termasuk aliran kepercayaan.
B. Islam sebagai Ideologi
Ditinjau dari segi munculnya, agama-agama selain monoteisme
murni merupakan hasil kontemplasi manusia, sedangkan monoteisme murni merupakan
wahyu dan hasil ciptaan Tuhan (Satu zat yang diyakini keabsolutannya). Ragam
agama yang terakhir ini merupakan jawaban dari pertolongan Tuhan terhadap
manusia setelah “gagal” mencari kedamaian dan atau kebenaran hakiki melalui
indera. Dapat dikatakan bahwa agama monoteisme murni merupakan jawaban yang
paling tepat dan final dalam mencari agama serta kebenaran hakiki yang
dicia-citakan.
Di sinilah letak urgensinya studi awal terhadap agama;
menemukan agama monoteisme murni untuk dipeluk berarti telah memegang kunci
kebenaran serta Kedamaian yang sebenarnya, sebab kunci itu milik dan datang
dari pemilik kebenaran yang sebenarnya. Dialah Tuhan Yang Satu. Selanjutnya,
meyakini, melakukan dan komitmen terhadap ajaran-ajaran agama berarti telah
hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan berada dalam kebenaran serta
kedamaian-Nya. Inilah yang sebenarnya dicari-cari manusia (fitrah).
Bila kita amati secara obyektif, Islam telah
memiliki ciri-ciri di atas, baik konsep Ketuhanan, Kerasulan dan ajaran-ajaran
yang menunjukkan kesatuan (Tauhid) yang murni. Untuk membuktikan bahwa Islam
tidak memiliki ciri-ciri khusus di atas sama sulitnya dengan membuktikan adanya
ciri-ciri tersebut dalam agama selain Islam, bahkan tidaklah mungkin. Syarat
mencapai suatu kebenaran dan kedamaian yang sebenarnya haruslah terlebih dahulu
mengenal Islam secara tepat dan benar. Kemudian, komitmen terhadap ajaran-ajarannya.
Para linguist bahasa Arab menyatakan bahwa kata “Islam” berasal
dari kata “aslama”, berarti“patuh” dan “menyerahkan
diri”. Kata ini berakar pada kata “slim”, berarti “selamat
sejahtera”,mengandung pengertian “damai”. Orang yang
menyatakan dirinya Islam atau berserah diri, tunduk dan patuh kepada kehendak
penciptanya disebut “Muslim”. Kedua asal kata Islam yakni
“aslama” dan “silm” mempunyai hubungan pengertian yang mendasar. Adanya kata
pertama karena kata kedua, adanya penyerahan diri (= kata aslama) karena adanya
tujuan hidup damai (= silm).
Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan
serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah
berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh, akan
mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat konsekuensi
sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan kata Islam di berbagai tempat dengan
pengertian yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengarah pemahaman yang
sama. Pengertian Islam secara umum: mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak
dikotori oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas
hanya kepada Allah, berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar
dan optimistis. Jadi pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya:
Penyerahan diri secara bulat kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup
tertentu.
Para orientalis menyebut “Islam” dengan istilah
“Muhammadan-isme” mereka mengasosiasikan sebutan ini dengan sebutan-sebutan
bagi agama-agama selain Islam yang dianologikan pada pembawanya atau tempat
kelahirannya. Agama Nasrani diambil dari negeri kelahirannya (Nazaret).
Kristen, diambil dari nama pembawanya 0esus Kristus). Budha (Budhisme) dari
nama pembawanya (Sang Budha Gautama), Zoroaster (Zoroasteranisme) dari
pendirinya, Yahudi (Yuda-isme) dari negerinya (Yudea).
Namun nama “Islam” mengandung pengertian yang mendasar.
Agama Islam bukanlah milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik
dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam sebagai agama
universal dan eternal merupakan wujud realisasi konsep Rahmatan lil
Alamin (rahmat bagi seluruh umat). Istilah “Mohammadanisme” membuka peluang
bagi timbulnya berbagai interpretasi serta persepsi terhadap Islam yang
diidentikkan dengan agama-agama lain yang jelas berbeda konsepsi.
Sejak awal sejarah lahirnya manusia, terdapat satu bentuk
petunjuk yang berupa wahyu ilahi melalui seorang rasul (agama Allah).
Agama-agama Allah tersebut pada prinsipnya Agama Islam (= agama yang
menyerahkan diri hanya kepada Tuhan Yang Satu). Kalau di sana terdapat
perbedaan-perbedaan, karena perbedaan dalam memahami konsep-konsep yang
bersifat umum dalam masalah-masalah mua’malah dan bukanlah masalah yang fundamental.
Mengenai konsep Tuhan Yang Satu dan ajaran penyerahan diri
kepada Allah, tetaplah sama. Hubungan semua rasul sejak Adam a.s. sampai
Muhammad s.a.w., berdasarkan ajaran yang mereka bawakan, bagaikan mata rantai
yang selalu datang berkesinambungan dan merupakan penyempurnaan ajaran
sebelumnya sehingga agama Allah tersebut akan mampu menjawab seluruh hajat
manusia di pelbagai zaman, kapan dan di mana saja. Mengenai konsep totalitas
serta ke-sempurnaan agama Islam maupun keabsahannya dari agama-agama Allah yang
lain yang datang sebelumnya.
C. Islam sebagai Budaya dalam perspektif masyarakat Jawa.
Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas
dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Menurut salah satu Literatur
dengan judul ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali Songo ”(1999) yang
diterbitkan oleh Yayasan Festival Walisongo; dalam sejarah Syeh
Maulana Malik Ibrahim menceritakan bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali
dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren
Pertama di Indonesia.
Menurut buku ” Jejak Kanjeng Sunan, Perjuangan Wali
Songo ”(1999). Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam
sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa, bahkan menurut sumber Tiongkok,
ketika perutusan Tiongkok datang ke Jawa Timur 1413 M, mereka melihat adanya
tiga masyarakat, yaitu :
Orang – orang Islam yang berpakaian bersih, hidupnya teratur
dan makanannya enak-enak.
Orang – orang Cina yang pola hidupnya hampir sama dengan
orang Islam, bahkan di antara mereka banyak yang sudah muslim.
Penduduk setempat yang masih kotor-kotor, tidak bersongkok
dan tidak bersepatu.
Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut
animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada
dibawah pemerintahan kerajaan Mojopahit. Masyarakat menganut struktur sosial
yang berkasta, yaitu kasta sudra, kasta waisya, kasta ksatria dan kasta brahmana.
Model masyarakat inilah yang menjadi obyek dakwah para penyebar agama Islam,
walaupun mereka bukan orang Jawa asli tetapi mampu mengantisipasi keadaan
masyarakat yang dihadapinya.
Sebagaimana sudah menjadi wacana yang amat familiar dalam
dunia akademik, Geertz menulis sebuah buku yang amat menggemparkan jagat
akademik Indonesia: The Religion of Java. Dalam buku yang diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, tentang Agama masyarakat Jawa ini, memaparkan tipologi atau
kategori agama masyarakat Jawa melalui tiga varian yang disebutnya: Abangan,
Santri, dan Priyayi,seperti yang dikutip diatas. Menurut Geertz, tiga varian
keberagamaan masyarakat Jawa diambil dari istilah yang digunakan oleh orang
Jawa sendiri ketika mendefinisikan kategori keagamaan mereka.
Deskripsi singkat dari tiap-tiap tipologi keagamaan tadi
dapat dikemukakan demikian. Pertama, Abangan. Istilah ini didefinisikan oleh
Geertz sebagai teologi dan ideologi orang Jawa yang memadukan atau
mengintegrasikan unsur-unsur animistik, Hindu, dan Islam.
Pengejawantahan dari kelompok sosial Abangan ini dapat
dilihat dalam berbagai kepercayaan masyarakat Jawa terhadap berbagai jenis
makhluk halus, seperti memedi (suatu istilah untuk makhluk halus secara umum),
tuyul (makhluk halus yang menyerupai anak-anak, tapi bukan manusia), lelembut
(makhluk halus yang mempunyai sifat kebalikan dari memedi, yaitu masuk ke dalam
tubuh manusia dan menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila), dan sebagainya.
Kalangan Abangan juga sangat rajin dalam mengadakan berbagai upacara slametan,
seperti: Slametan kelahiran, Slametan khitanan, Slametan perkawinan, Slametan
kematian, Slametan desa, Slametan Suro (bersih deso).
Kedua, Santri. Geertz mendefinisikan santri sebagai orang
Islam yang taat pada ajaran-ajaran atau doktrin agama dan menjalankannya secara
taat berdasarkan tuntunan yang diberikan agama. Dengan definisi itu, agaknya
kata lain yang lebih cocok untuk menyubstitusi istilah santri adalah Muslim
sejati. Berbeda dengan kalangan Abangan yang cenderung mengabaikan terhadap
berbagai ritual Islam, kalangan santri ini justru sangat patuh terhadap doktrin
Islam dan ritual, dengan titik kuat pada keyakinan dan keimanan.
Tampaknya, dalam penelitian Geertz, tipologi Santri ini juga
mempunyai sub-sub tipologi atau subvarian, yaitu ada yang disebut santri
konservatif dan santri modern. Santri konservatif atau santri kolot adalah
kelompok santri yang cenderung bersikap toleran terhadap berbagai praktik
keagamaan setempat yang merupakan warisan nenek moyang, seperti tradisi
slametan. Santri konservatif ini juga diindikasikan dengan masih kuatnya mereka
berpegang pada rujukan Kitab Kuning dalam kelompok santri konservatif ini. Sementara
itu santri modern adalah mereka yang cenderung meninggalkan ritualitas
konservatif tersebut.
Ketiga, Priyayi. Geertz mendefinisikan priyayi sebagai
kelompok orang yang mempunyai garis keturunan (trah) bangsawan atau darah biru,
yakni mereka yang mempunyai kaitan langsung dengan raja-raja Jawa dahulu.
Tampaknya, varian ini mengalami pemekaran makna yang cukup signifikan. Saat
ini, mereka yang mempunyai status sosial cukup tinggi, baik karena banyak harta
atau mempunyai jabatan tertentu, dapat dikategorikan sebagai kalangan priyayi
modern.
Pengejawantahan dari kelompok sosial priyayi ini dapat
dilihat dalam berbagai etiket, seni dan praktik mistik. Etiket di kalangan
Priyayi menyangkut bahasa lisan dan bahasa sikap. Bahasa lisan terlihat dari
tingkatan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Sementara itu,
aspek seni dan kepercayaan priyayi dinyatakan dalam berbagai manifestasi,
seperti yang dinyatakan dalam bentuk tembang atau disebut juga dengan istilah
wirama. Adapun aspek mistik merupakan kelanjutan dari aspek seni tadi. Tujuan
yang hendak dicapai dengan adanya praktik mistik ini adalah mencapai kejernihan
pengetahuan yang dalam.
Pengaruh Islam dapat dikatakan tidaklah terlalu besar. Agama
ini hanya menyentuh kulit luar budaya Hindu-Budha-Animistis yang telah berakar
kuat. Akibatnya Islam menurut pendapat Geertz, C (1975)” Islam tidak
bergerak ke wilayah baru, melainkan ke salah satu wilayah bentukan
politik,estetika, religius dan sosial terbesar di Asia, yakni kerajaan Jawa
Hindu/Budha, yang walaupun pada masa itu mulai melemah, telah berakar kuat di
masyarakat Indonesia (khususnya di Jawa, walau tak hanya disana).
Fenomena ini juga dijelaskan , menurut Muhaimin
(2002) di Jawa, ”Islam tidak menyusun bangunan peradaban, tapi hanya
menyelaraskannya”. Bagi masyarakat Jawa, Islam adalah Tradisi asing yang
dipeluk dan dibawa oleh para saudagar musafir di pesisir. Melalui proses
panjang asimilasi secara damai dan berhasil membentuk kantong-kantong
masyarakat pedagang di beberapa kota besar dan dikalangan petani kaya.
Komunitas muslim itu kemudian memeluk suatu sinkritisme yang
menekankan aspek kebudayaan Islam. Hasil dari seluruh proses tersebut adalah
masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang
rumit, yang terdiri atas : a) Abangan, atau mereka yang masih
menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan
berkaitan erat dengan elemen petani. b) Santri, yang
menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen
pedagang dan dengan elemen petani tertentu. c) Priyayi, yang
menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.
Keadaan kebudayaan masyarakat ini sebenarnya seirama dengan
situasi etnis (suku bangsa) pendatang, dimana secara tegas tidak diketahui
secara pasti ketika itu. Yang dapat diketahui sesudah berkembangnya agama Islam
di Jawa. Sampai sekarang terlihat bahwa kebudayaan mereka berlatar belakang
ajaran Islam. Adat istiadat yang berkembang di daerah Jawa tetap bernafaskan
Islam, walaupun bentuk dan tata cara pelaksanaanya berbeda-beda antara satu
tempat dengan tempat lain dalam satu desa. Bahkan juga kesenian dan kebudayaan
lainnya turut berkembang sehingga terlihat adanya percampuran antara Hindu dan
Islam contoh pagelaran wayang kulit, budaya slametan, pitonan bayi, bersih
deso, penerapan penanggalan Jawa : legi,pon,wage,pahing kliwon.
Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang
Islam yang ada di Jawa, sebagian masih percaya dengan animisme dan dinamisme.
Misalnya , ketika seseorang menggali sumur, saat itu agak emosi karena ada
sesuatu yang kurang pas dengan pekerja sawahnya. Ketika emosi muncul tiba-tiba
galian tanah yang mau dipakai untuk sumur tidak bisa dilanjutkan karena ada
pondasi yang terbuat dari batu merah persis batu merah yang ada di candi
Trowulan, Mojokerto. Akhirnya mereka berhenti dan pulang. besuknya, mereka mau
menggali sumur di tempat sebelahnya. Sesampainya di sawah, Ternyata pondasi
sudah tidak ada lagi. Karena pondasi sudah tidak ada lagi, mereka melanjutkan
penggaliannya di tempat itu dengan keyakinan bahwa di tempat ini ada danyangnya
(makhluk ghaib yang menjaga tempat itu). Maka dengan hormatnya mereka
mengadakan ritual adat berupa permintaan maaf dan permohonan ijin kepada sang
penunggu dengan sesaji berupa slametan. Kejadian semacam tadi tidak hanya
dialami oleh satu orang saja, tetapi masih ada lagi pengalaman nyata yang
dialami oleh orang-orang Islam lainnya yang ada di Jawa dan bukan menjadi
rahasia umum lagi.
Akhirnya, Geertz sampai pada muara kesimpulan bahwa yang
dinamakan agama Jawa tidak lain adalah sinkretisme. la melihat adanya perpaduan
antara kepercayaan asli masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam yang datang
belakangan. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam praktik slametan yang
biasanya dilakukan oleh kalangan Abangan. Pada praktik slametan terkandung
berbagai unsur adat lokal dan Islam. Di situ ada praktik magis berupa
kepercayaan kepada roh, dan ada pula penyisipan unsur Islam, yaitu doa yang
dikumandangkan pada saat selesai melakukan acara slemetan. Sehingga Islam
melebur dalam budaya masyarakat dan mampu mewarnai setiap gerak kehidupan yang
ada tanpa melepaskan akidah dan syariatnya.
No comments:
Post a Comment